Rabu, 26 Maret 2014

Lelah Untuk Mengatakan Negeri Ini Kaya

sumber : www.kompasiana.com 
Lelah Untuk Mengatakan Negeri Ini Kaya 
Menyaksikan para penumpang kereta api yang duduk di atap gerbong, lalu muncul penjelasan bahwa jumlah gerbong kereta masih sangat terbatas. Benarkah sebuah perusahaan kereta api monopoli negara itu tidak punya uang untuk membeli gerbong baru? Betapa miskinnya negari ini.
Menyaksikan antrian truk pengangkut barang kebutuhan pokok rakyat yang berhari-hari menunggu giliran masuk kapal Ferry, lalu muncul penjelasan bahwa jumlah kapal Ferry terbatas sehubungan dengan beberapa buah sedang dalam perbaikan, dan terpikir untuk membeli kapal ferry bekas. Sekali lagi, kapal ferry bekas. Betapa miskinnya negari ini.
Sementara ribuan kilometer jalan pun dalam keadaan rusak. Dan di beberapa daerah masih banyak bangunan sekolah negeri dibiarkan rusak. Lalu biaya pendidikan dan kesehatan begitu mahal. Pengangguran jumlahnya masih lebih besar dari pada jumlah penduduk Singapore  yang kotanya begitu indah karena beberapa bangunan megah didirikan oleh para pengusaha dan pemboyong uang dari negeri bernama Indonesia. Betapa miskinnya negeri ini.
Lalu mengapa kita terus menerus menjadi manusia bebal, tak henti-hentinya menggembar-gemborkan kebohongan bahwa negeri kita adalah negeri yang sangat kaya raya. Tidakkah anda lelah?
Kaya itu bukan sekedar data yang ditandai dengan potensi sumberdaya alam yang terpendam di darat dan lautan, melainkan jika umat manusia yang hidup di atasnya adalah manusia yang memiliki kedaulatan atas kekayaan itu. Sudahkah kita memiliki kedaulatan atas kekayaan yang terpendam di tanah yang kita pijak?
Rupanya tak satu pun pemimpin  di negeri ini yang memiliki keberanian mengembalikan kekayaan sumberdaya alam pada rakyatnya dari cengkraman tangan-tangan kapitalis asing, kecuali Bung Karno. Kendati pun Bung Karno belum berhasil mewujudkannya, karena dirongrong oleh kemunculan ambisi politik kelompok tertentu yang memudahkan tangan-tangan asing mewujudkan impiannya menguasai kekayaan negeri ini.
Dulu komunisme dicitrakan begitu buruknya sebagai ideologi yang layak diharamkan Islam. Tiada lain sesungguhnya hanya karena sedang digunakan sebagai alat untuk melumpuhkan bangsa ini. Kini Islam dicitrakan sebagai kelompok radikal yang tidak sejalan dengan demokrasi. Dan kemungkinan besar peran komunisme dihidupkan lagi di belakang layar, digunakan sebagai alat mengadu domba antara Islam dan demokrasi.
Semua itu tentu saja sebagai upaya pengalihan perhatian kita pada hal-hal yang menjadi kepentingan negara-negara kapitalis. Seperti dominasi asing pada industri pertambangan, pertanian, maritim dan industri manufakturing. Kita dibuat tak memiliki daya. Para negosiator kita termasuk para elit politik pemerintahan bisa jadi dinina bobokan hingga lengah dan melupakan butir-butir penting dalam kesepakatan kontrak karya.
Isu korupsi sesungguhnya merupakan bentuk tema berseri yang akan diusung sepanjang jaman untuk mengalihkan perhatian dan dikemas sebagai kambing hitam yang memelaratkan negeri ini. Meski pun hal itu memiliki kebenaran, korupsi memang salah satu virus bagi upaya pembangunan kesejahteraan rakyat. Namun virus lain yang tidak kalah membahayakan adalah minimnya penerimaan negara dari hasil pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak asing.
Kita yang hidup di atas tanah kita mengapa begitu sulit mempertahankan hak kita. Tentu saja hal itu  karena kita terlanjur telah mempercayakan kehidupan kita kepada para pemimpin yang tidak mampu memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Masihkah kita akan memandang rumput yang kita injak lebih rendah derajatnya dari pada kita? Padahal rumput begitu mudah menghidupi dirinya sekalipun tidak mampu berpindah-pindah lahan. Tidakkah kita malu oleh segerombolan semut yang mampu hidup begotong royong saling bahu membahu dalam mempertahankan hidupnya?
Kita mungkin tidak perlu menuduh siapa-siapa. Tetapi apakah kita punya daya untuk mengubah semua ini? Lalu siapa yang harus kita persalahkan? Apakah saya harus menyalahkan diri saya untuk soal ini? Yang benar saja….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar